Browse » Home
»
Sayaku
» Optimalisasi Teknologi Informasi Dalam Pewacanaan Rekonstruksi Paradigma Sains Untuk Kemajuan Bangsa
Optimalisasi Teknologi Informasi Dalam Pewacanaan Rekonstruksi Paradigma Sains Untuk Kemajuan Bangsa
"Pendidikan harus bisa memerdekakan manusia dari ketergantungan kepada orang lain dan bersandar pada kekuatan sendiri” (Ki Hadjar Dewantara)
Itulah harapan sekaligus amanah yang dititipkan Bapak Pendidikan kita, terealisasinya pendidikan nasional yang memerdekakan.Pendidikan yang mampu membebaskan dari kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan, hingga sebuah bangsa mampu berdiri sendiri.
Namun, seberapa jauhkah harapan itu menemukan realitasnya di Indonesia? Indikatornya ialah ukuran kualitas, dan inilah kondisi riil yang terjadi. Berdasarkan survei Political and Economic Risk Consultant yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001, kualitas Pendidikan Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Apa gag salah tu ??
Pada tahun 2005, Penelitian yang dilakukan oleh Asian South Pacific Beurau of Adult Education dan Global Campaign for Education menempatkan Indonesia pada peringkat ke 10 dari 14 negara berkembang. Kondisi ini tidak juga membaik pada tahun 2007, World Competitiveness Year Book kembali menempatkan Indonesia pada peringkat yang “membanggakan”, urutan ke 53 dari 55 negara.
Melihat kondisi demikian, saintis Islam tidak perlu mencontoh apa yang telah dicapai para saintis Barat. Mengingat paradigma yang diusung dalam sains Barat adalah tidak didasarkan pada nilai dan etika. Pada era global sekarang ini, kenyataannya dominasi Barat atas dunia Islam, mendorong umat Islam mengadopsi konsep-konsep Barat secara buta. Sains modern merupakan value-free, padahal sains modern sarat dengan muatan nilai pragmatis, positivistis, dan materialistis Barat, sehingga menjadi value-laden. Sains modern dikenal memiliki kontribusi positif dalam peningkatan fasilitas hidup masyarakat, tetapi ia juga menyisakan dampak negatif. Kontribusi positif dan dampak negatif tersebut tidak terbatas pada tataran aplikasi atau praksis saja, tetapi juga pada tataran teoritis. Oleh karenanya, sains modern tidak dapat dikatakan sebagai value-free, tetapi lebih tepat value-laden. Atas dasar itu, sains modern tidak dapat dikatakan bersifat universal, tetapi lebih bersifat western sentris. Dan kenyataan ini, tidak boleh diabaikan oleh saintis Islam untuk kemudian melakukan perubahan paradigma yang bersifat kapitalis-liberalis menjadi paradigma yang populis-nasionalis.
Cacatan buruk dari kemajuan sains modern, menurut penulis adalah terletak pada penempatan sains sebagai landasan kehidupan. Sains modern memang memunculkan penemuan-penemuan baru yang berharga bagi hajat manusia, disamping nilai praksisnya yang juga mendorong orang untuk melakukan penelitian dan percobaan dalam sains. Pada satu sisi, para saintis diakui tetap konsisten terhadap netralitas ilmu dari pengaruh dogma dan agama, pada sisi lain, mereka harus mempertanyakan, untuk apa ilmu dipergunakan, sampai sejauhmana batas-batas penelusuran ilmu, dan kemana perkembangan ilmu harus diarahkan? Dalam konteks inilah, penulis setuju dengan gagasan Kenneth R. Hoover, bahwa pengetahuan akan menjadi kuat secara rasional apabila pengetahuan dapat dipergunakan dan memberi nilai manfaat- lahir batin- bagi kehidupan manusia. Ia harus dapat dikomunikasikan, valid, dan meyakinkan.
Di sinilah nilai urgensitas dari etika yang berkembang dalam lapangan sains. Lima puluh tahun yang lalu, fisikawan nuklir sepertinya menimbulkan simalakama etis. Bermula ketika Albert Einstein menemukan teori expanding universe (semesta yang mengembang), uncertainty principle (kaidah ketidakpastian), dan general law of relativity (hukum kreativitas umum) yang berakhir dengan keluarnya rekomendasi pembuatan atom untuk pertahanan Amerika. Penemuan teori ini, pada gilirannya dijadikan landasan fundamental untuk menghentikan laju nuklir yang dilakukan Amerika ketika melakukan serangan bom atom terhadap kota Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945.
Melihat implikasi sains yang berujung pada krisis global, pada gilirannya mendorong kita untuk mengusung sains Islam yang berbasis etika dan moral. Hal ini menjadi penting, mengingat kondisi kehidupan manusia sedang berada di ujung tanduk. Secara umum, etika dan moral adalah filsafat, ilmu atau disiplin tentang mode-mode tingkah laku manusia atau konstansi-konstansi tindakan manusia. Penanaman etika dan moral dalam sains, bertujuan untuk memberikan motivasi kesadaran kepada saintis untuk lebih mementingkan maslahah daripada mudharat. Melalui penanaman etika dan moral ini, diharapkan akan tumbuh paradigma sains yang lepas dari kungkungan kepentingan dan mengedepankan keselamatan ummat secara keseluruhan.
Di sinilah pentingnya membangun paradigma sains Islam yang berbasis etika dan moral. Di mana, paradigma tersebut akan menjadi acuan bagi saintis Islam untuk lebih terinspirasi dalam memahami makna hidup yang sebenarnya, sehingga tidak lepas kontrol karena terlalu mengagungkan sisi menarik dari sains itu sendiri. Sains Islam sebagaimana dibuktikan dari sejarahnya, jelas berusaha untuk menjunjung dan mengembangkan nilai-nilai dari pandangan dunia-nya dan peradaban Islam, tidak seperti sains Barat yang berusaha mengesampingkan semua masalah yang menyangkut nilai-nilai. Ciri yang unik dari sains Islam berasal dari penekanannya akan kesatuan agama dengan sains, pengetahuan dengan nilai-nilai, fisika dengan metafisika. Penekanannya pada keragaman metode dan penggunaan sarana-sarana yang benar untuk meraih cita-cita yang benar itulah yang memberikan gaya yang khas pada sains Islam, dan keharmonisan menjadi ciri utamanya.
Berangkat dari kenyataan inilah, sains Islam perlu dibangun dalam kerangka nilai yang etis dan menjamin keselamatan hidup manusia. Usaha menelaah sains modern yang berkembang saat ini, dapat dilakukan dengan menggali potensi keilmuan yang terdapat di dalamnya. Dalam konteks ini, kita mencoba mengkaji seberapa besar pengaruh sains modern dan kebijakannya dalam mempengaruhi manusia modern sekarang ini. Jika kita bisa menganalisnya dengan sempurna, maka tidak menutup kemungkinan sains Islam yang kita usung agar kembali bangkit dan maju benar-benar menjadi kenyataan.
Maka tak berlebihan, jika dalam usaha memaksimalkan potensi alam, sains Islam dituntut untuk mengelaborasi konsep nilai yang menjadi pijakan dalam mengembangkan sains itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan adanya seminar tentang “Pengetahuan dan Nilai-Nilai” di mana di dalamnya mengkaji 10 konsep Islam yang meliputi dan melukiskan sifat pencarian ilmiah dalam totalitasnya: tawhid (keesaan), khilafah (perwalian manusia), ‘ibadah (pemujaan), ‘ilm (pengetahuan), halal (diizinkan), haram (dilarang), ‘adl (keadilan sosial), zhulm (kelaliman), istishlah (kepentingan umum), dan dziya’ (pemborosan).
Nilai-nilai positif, seperti tawhid (keesaan), khilafah (perwalian manusia), ibadah (pemujaan), ‘ilm (pengetahuan), halal (diizinkan), ‘adl (keadilan), dan istishlah (kepentingan umum) menjadi landasan fundamental dalam aktifitas ilmiah dan kebijakan sains yang telah dirumuskan. Sementara, nilai zhulm (kelaliman), haram (dilarang), dan dziya’ (pemborosan) menjadi nilai yang dilarang dalam konsep dan paradigma sains Islam. Dalam artian, semua konsep yang telah dirumuskan harus beriringan dan sesuai dengan etika serta moral dalam kehidupan. Hal ini dilakukan, agar terjadinya malapetaka dalam kehidupan bisa dihindari, karena kelalaian manusia dalam mempergunakan dan memanfaatkan sains secara sembarang.
“Muhammad merupakan seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar. Ia telah melahirkan stabilitas, suatu revolusi sejati yang memiliki tempo tak tertandingi dan gairah yang menantang.”
Artikel Terkait
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar