Browse » Home
Konsumsi listrik Indonesia setiap tahunnya terus meningkat sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Konsumsi listrik Indonesia yang begitu besar akan menjadi suatu masalah bila dalam penyediaannya tidak sejalan dengan kebutuhan. Kebijakan-kebijakan yang diambil Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), semakin menunjukkan bahwa sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan listrik nasional. Bahkan, PLN sampai melakukan pencarian sumber-sumber pendanaan melalui penerbitan obligasi untuk menunjang kegiatan operasional dan memenuhi kebutuhan listrik nasional. Kita akui bahwa ini merupakan kelemahan pemerintah dalam mengelola kelistrikan. Akibatnya pasokan listrik saat ini tidak mencukupi kebutuhan.
Konsumsi listrik Indonesia yang begitu besar akan mejadi suatu masalah bila dalam penyediaannya tidak sejalan dengan kebutuhan. Negara-negara pengembang nuklir seperti Jepang, Rusia, dan Korea, telah memberikan pelajaran berharga betapa bahayanya nuklir bagi kehidupan. Namun, seolah tidak belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut, pemerintah Indonesia justru berencana untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) guna mengatasi krisis energi. Ekonomis, adalah alasan paling ampuh yang dikemukakan pendukung PLTN.
Perlu kita ketahui bahwa di Semananjung Muria terdapat tiga calon tapak untuk lokasi pembangkit pertama di Indonesia. Pembangkit ini diperkirakan mampu menghasilkan listrik sampai 7.000 megawatt. Dengan adanya sesar yang tidak jauh dari Semenanjung Muria menunjukkan bahwa lokasi itu memenuhi syarat karena ujung sesar masih berjarak 10 kilometer dari calon tapak pembangkit listrik nuklir. Sebenarnya, pemanfaatan nuklir dalam PLTN memberikan banyak keuntungan. Diantaranya, tidak menimbulkan gas rumah kaca, tidak mencemari udara, biaya bahan bakar rendah, serta ketersediaan bahan bakar yang melimpah.
Namun, di balik keuntungan-keuntungan tersebut, pemakaian nuklir dalam PLTN tetap saja menyimpan kerugian yang lebih beresiko yaitu, resiko kecelakaan nuklir seperti yang terjadi di Uni Soviet. Limbah nuklir yang mengandung radioaktif ini dihasilkan dalam jumlah yang tinggi dan bertahan hingga ribuan tahun. Hal inilah yang kini banyak dikhawatirkan oleh sejumlah kalangan pecinta lingkungan.
Terkait rencana pemerintah Indonesia yang akan membangun PLTN di daerah Muria. Koordinator Environment Parliament Watch (EPW) menyatakan bahwa Indonesia dianggap belum siap jika sewaktu-waktu terjadi kebocoran nuklir. Indonesia belum memiliki sarana pengelolaan limbah nuklir serta belum mampu menyediakan teknologi memadai jika sewaktu-waktu terjadi kebocoran. Berdasarkan penelitian,terbukti bahwa rata-rata untuk satu orang yang tinggal sekitar 1 km dari sebuah reaktor nuklir, dosis radiasi yang diterimanya dari bahan-bahan reaktor tersebut kurang dari 10 persen dari radiasi alam.
Selain itu, pembangunan PLTN akan menyebabkan bencana besar, khususnya bagi para konsumen air tawar. Dimana radiasi nuklir akan dengan mudah menyebar dalam air tawar melalui proses desalinasi, sehingga konsumen akan terkontaminasi oleh radiasi nuklir. Sedangkan alasan pemerintah sendiri membangun PLTN ini, yaitu guna mengatasi krisis energi yang saat ini terjadi di Indonesia. Alasan ini terlalu dipaksakan. Sebab, ketersediaan sumber daya alam di Indonesia masih cukup besar dan masih dapat dimanfaatkan lagi dengan asas keseimbangan lingkungan dan keadilan bagi masyarakat.
Limbah nuklir merupakan salah satu hal yang menimbulkan kecemasan dimasyarakat. Seperti limbah-limbah lainnya, limbah nuklir merupakan bahan yang sudah tidak dimanfaatkan lagi karena bersifat radioaktif, dan mengandung potensi bahaya radiasi. Sumber-sumber limbah nuklir sendiri, paling besar berasal dari PLTN yaitu sekitar 90 %. Sementara 10 persennya, berasal dari penggunaan radioaktif di rumah sakit untuk kepentingan diagnosa. Maupun industri-industri yang memanfaatkan radioaktif untuk radiografi. Unsur-unsur radioaktif dalam limbah nuklir mampu memancarkan radiasi.
Maka, limbah nuklir tidak bisa di buang begitu saja ke lingkungan. Karena radiasi yang dipancarkannya berpotensi memberikan efek merugikan terhadap kesehatan manusia. Seperti menimbulkan cacat permanen, merusak sel manusia, hingga menyebabkan kematian. Sehingga, pembuangan limbah nuklir harus dilakukan dengan cara yang tepat. Lazimnya, di negara-negara maju metode penanganan limbah cair dilakukan dengan tiga teknik yaitu, dengan dipadatkan atau dipekatkan, dibiarkan meluruh dalam tempat penyimpanan khusus, dan terakhir limbah cair diencerkan dan didispersikan ke lingkungan. Karenanya, diperlukan teknologi yang tinggi dalam rangka mengelola limbah nuklir tersebut. Setelah itu, limbah yang telah dikelola dengan teknologi tinggi tersebut tetap harus disimpan ditempat khusus yang aman dan jauh dari kehidupan manusia. Sementara Indonesia sendiri belum mampu menyediakan teknologi tinggi untuk mengelola limbah nuklir itu nantinya. Dengan penanganan yang memadai saja reaktor nuklir sangat berpotensi membahayakan dan mengancam keselamatan jiwa manusia.
Ada beberapa bahaya laten dari PLTN yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kesalahan manusia (human error) yang bisa menyebabkan kebocoran, yang jangkauan radiasinya sangat luas dan berakibat fatal bagi lingkungan dan makhluk hidup. Kedua, salah satu yang dihasilkan oleh PLTN, yaitu Plutonium memiliki hulu ledak yang sangat dahsyat. Sebab Plutonium inilah, salah satu bahan baku pembuatan senjata nuklir. Kota Hiroshima hancur lebur hanya oleh 5 kg Plutonium. Ketiga, limbah yang dihasilkan (Uranium) bisa berpengaruh pada genetika. Oleh karenanya, pemakaian energi alternatif yang ramah lingkungan dinilai sebagai pilihan tepat, ketimbang pembangunan PLTN. Energi alternatif yang dapat dimanfaatkan antara lain, panas bumi, tenaga gelombang dan arus , energi nabati, bioenergi dan potensi energi lainnya. Sehingga lingkungan dapat kita selamatkan dari kehancuran. Dan hal itu juga, sebagai wujud kasih sayang kita terhadap lingkungan yang kita tinggali ini.
Artikel Terkait
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar